POLITIK DAN KORUPSI

POLITIK DAN KORUPSI



“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.”
(QS. Al Anfal [8] : 27)

            Tidak lama setelah Rasullullah saw menghembuskan nafas terakhirnya, umat islam baik yang berasal dari Makkah (al-Muhajirun) maupun Madinah (al-Anshar) lebih sibuk memikirkan pengganti (khalifah) beliau. Bagi sebagian kalangan, hal itu mengherankan. Bahkan ada banyak pandangan stereotip yang menyudutkan para sahabat sebagai orang-orang yang lebih mementingkan masalah politik kala itu ketimbang masalah penguburan beliau. Akan tetapi, kalau ditelusuri secara mendalam, urusan politik yang dipermasalahkan itu amat terkait dengan prinsip-prinsip  akidah islam dan cita-cita penegakan syari’at Islam yang dimiliki oleh para sahabat Rasullullah.

            Konsentrasi umat Islam untuk lebih memikirkan pengganti Rasullullah saat itu dilatarbelakangi oleh dua hal. Pertama,  umat Islam menganggap kepemimpinan Rasullullah, baik dalam urusan agama maupun social kemasyarakatan, sebagai bagian esensial dalam kehidupan mereka dan tidak bisa dilepaskan dari persoalan akidah Islam. Kedua,  perjalanan umat Islam pada waktu itu sedang mengalami perkembangan cukup pesat, dari sebuah gerakan ‘agama murni’ menjadi gerakan agama yang juga mengendalikan system social-politik melalui pemerintah Madinah. Bahkan kekuasaan Islam saat itu, tidak terbatas pada wilayah kota Madinah saja, tetapi dapat dikatakaan meliputo seluruh semenanjung Arabia.

            Dengan melihat latar belakang itu, maka jelas bahwa perilaku politik para sahabat dalam memikirkan pengganti (khalifah) Rasullullah, erat kaitannya dengan semangat perjuangan untuk menegakkan nilai-nilai Islam sehingga menjadi dasar moral bagi kehidupan masyarakat. Itulah makna politik di kalangan para sahabat Nabi saw.

Bagaimana seharusnya perilaku manusia dalam berpolitik.

            Untuk memahami hal tersebut, al-Qur’an menjelaskan posisi manusia di muka bumi ini.
“…….. Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi…. (QS. Al Baqarah [2] : 30)
Dalam ayat ini disebutkan: “….. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya…… (QS. Hud [11] : 61)

            Kedua ayat tersebut, menurut sebagian mufassir mengandung 2 (dua) konsep dasar tentang tanggung jawab manusia di bumi, yaitu: Istikhlaf dan Isti’mar. Kedua istilah tersebut mengarah pada pengertian bahwa manusia mempunyai tanggung jawab penuh untuk menentukan arah kehidupan di muka bumi, baik dalam konteks individu maupun kolektif (social). Dalam kaitan ini, Rasulullah saw bersabda: “Setiap kamu adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban akan kepemimpinannya. Pemimpin umat adalah pemimpin dan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Suami adalah pemimpin bagi keluarganya dan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Isteri adalah pemimpib terhadap urusan rumah tangga suaminya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Pembantu adalah pemimpin atas harta tuannya dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya…..” (HR. Bukhari)

            Setiap individu pada dasarnya mempunyai tanggung jawab atas apa yang dilakukannya sesuai dengan posisinya. Setiap individu adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas profesinya masing-masing. Jika demikian, bagaimana dengan pemimpin agama, pemimpin masyarakat, bangsa, ataupun Negara? Tentu tanggung jawab mereka lebih besar, karena tidak hanya memimpin dirinya sendiri, tetapi juga masyarakat yang berada dibawah tanggung jawabnya.

            Oleh sebab itu, dalam kancah politik, setiap kekuatan atau partai politik pada dasarnya sedang berjuang memperebutkan tanggung jawab, sehingga berkesempatan untuk memimpin masyarakat sesuai dengan nilai-nilai yang diyakininnya. Namun dalam kenyataannya, banyak politisi yang melakukan gerakan-gerakan politiknya haanya untuk mendapatkan kesempatan berkuasa, sehingga semua keinginan dan kehendaknya bisa direalisasikan. Di samping itu, karena kekuasaan dekat dengan uang dan harta, tidak sedikit di antara mereka justru menjadi politik hanya sebagai jembatan untuk memperkaya diri dan menumpuk harta. Mereka tidak merasa risih menggunakan cara apapun demi menghancurkan kekuatan lawan-lawan politiknya, termasuk dengan car berbuat kezaliman, money politics, suap menyuap, kekuasaan berhasil mereka raih, system Negara dan birokrasi yang dibangunnya penuh dengan praktik-praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup. (QS. Al Alaq [96] : 6-7).
Politik seringkali disalahpersepsikan hanya sebagi cara-cara meraih kemenangan, dukungan, kekuasaan, dan kekayaan. Unsur-unsur moral seringkali dikesampingkan karena dapat menghambat tujuan-tujuan yang diharapkan. Politik dianggap sebagai sekedar proses negosiasi dan cara untuk berbagi kekuasaan (sharing power) atau kekayaan antar berbagai kelompok kepentingan. Para pelaku politik yang berpandangan seperti itu terkadang berlindung di bawah system atau peraturan perundang-undangan yang dianggap bisa mewadahi semua kepentingan dan akomodatif terhadap kepentingan umum, tanpa upaya untuk memperbaiki aspek-aspek moralitas individunya. Mereka mengira bahwa semua bisa diselesaikan dengan aturan main yang dianggap baik dalaam persepsi mereka.
Raja Harun ar-Rasyid (168-191 H [786-809 M]), seorang pemimpin dari Dinasti Abbasiya, karena begitu berhati-hati dalam mengelola Negara, sampai meminta seorang ulama fiqh bernama Abu Yusuf untuk membuat semacam peraturan , pungutan (kharaj) yang bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Ia  khawatir jika kepemimpinannya tidak berjalan di atas ketentuan-ketentuan agama, justru akan membawa kehancuran bagi masyaarakatnya, bahkan ia mengkhawatirkan keuangan Negara akan dipergunakan secara tidak semestinya. Keinginan itu kemudian disambut oleh Abu Yusuf  dengan menulis Kitab al-Kharaj, yang ternyata lebih luas dari sekedar tema perpajakan tetapi juga menjadi bahan referensi bagi ulama-ulama kemudian dalam mengkaji masalah-masalah perpolitikan (siyasah). Karya ini banyak merujuk pada praktek hukum yang dijalankan pada masa Umar ibn Khathab r.a. Dalam karyanya itu, Abu Yusuf sendiri dengan tegas memberi nasehat kepada Harun ar-Rasyid untuk menjalankan amanat pemerintahannya dengan adil, sebagaimana yang dilakukan Umar ibn Khathab. Itulah tipe pemimpin yang beriman yang meskipun telah mendapatkan kekuasaan untuk memerintah rakyat, tetapi tidak memanfaatkannya untuk kepentingan dirinya sendiri dan golongannya.
Untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, yang diperlukan tidak saja peraturan atau undang-undang yang baik, tetapi juga moralitas yang tinggi dari para pemimpin. Sebab dalam konteks saat ini, politik merupakan cara yang efektif untuk mendapatkan kekuasaan dan kepemimpinan. Oleh sebab itu, tindakan-tindakan politik harus diawali dengan niat dan persepsi yang lurus terhadap politik itu sendiri. Ia tidak bisa hanya dipahami sebagai suatu cara untuk mendapatkan kekuasaan tetapi juga tanggung jawab kepemimpinan.
Dasar Negara Pancasila dan UUD 1945 merupakan warisan yang amat berharga yang merncerminkan tekad pada pendahulu kita untuk menciptakan bangsa yang adil dan makmur. Akan tetapi, dalam perjalanannya, ternyata masih banyak pembelokan-pembelokan. Manipulasi penafsiran terhadap dasar-dasar Negara telah terjadi bertahun-tahun dan menyebabkan bangsa ini tidak menikmati kebebasan bersuara, berpolitik, berusaha, bahkan sekedar berwacana dalam konteks pemikiran atau ilmu pengetahuan. Dampak-dampak negatifpun bermunculan. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) merebak di setiap lini pemerintahan, yang akhirnya pada paruh terakhir tahun 1997 menyebabkan bangsa ini jatuh dalam multikrisis yang hingga saat ini belum bisa sepenuhnya teratasi.
Apa yang bisa kita ambil pelajaran dri perjalabab sejarah tersebut adalah bahwa sebaik apapun dasar Negara dan peraturan perundang-undang yang tertulis, jika motor penggeraknya (dalam hal ini para pemimpin Negara) tidak mempunyai moralitas yang tinggi, maka tidak berarti apa-apa. Rendahnya moralitas (budi pekerti) telah menyebabkaan system birokrasi kita hingga saat ini belum luput dari praktek-praktek KKN. Pungutan liar (pungli), suap menyuap, manipulasi data dalam pemilu, money politics, mark up anggaran dan lain sebagainya seolah-olah sudah menjadi kebiasaan yang berjalan tanpa halangan. Lebih memprihatinkan lagi, sector penegakan hukumpun ternyata tidak terbebas dari praktek-praktek semacam itu.
Melihat kenyataan demikian, maka satu-satunya solusi awal yang harus dilakukan adalah perbaikan moralitas politik. Kepemimpinann dan kekuasaan hendaknya dipahami sebagai amanah, bukan kesempatan untuk memperkaya diri. Tanpa ada upaya kea rah ini, maka rasanya sulit sekali membayangkan bagaimana bangsa ini bisa mengatasi masalah-masalah internalnya. Allah berfirman: “Hai orang-orang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (QS. Al Anfal [8] : 27)
Sikap amanah dan adil sudah seharusnya ditanamkan pada setiap pemimpin, terlebih pemimpin-pemimpin Negara, karena di tangan merekalah nasib jutaan rakyat. Kebijakan-kebijakan merekalah yang bisa membawa rakyat makmur dan sejahtera atau justru jatuh pada jurang kemiskinan dan kemeralatan. Untuk memulai hal itu, maka setiap kekuatan politik hendaknya menanamkan moralitas yang tinggi dengan mengorientasikan perjuangan politik tidak pada perolehan kesempatan untuk berkuasa, tapi yang lebih penting lagi adalah untuk membuktikan amanah dan keadilan mereka dalam memimpin.
Wallohu A’lam Bish Shawab

Oleh : Drs. H. Sulhan Supeno
Share this article :
+
arrow_back
Sebelumnya
arrow_forward
Selanjutnya
0 Komentar untuk "POLITIK DAN KORUPSI"